Sabtu, 22 Mei 2010

“MENAKLUKAN” TAKDIR

Dalam kehidupan nyata beriman kepada takdir barangkali hal yang berat kita lakukan karna sifatnya yang konkret.

Hati manusia cenderung Goyah jika dihadapak dengan Takdir yang menghadirkan kepedihan.

Allah dengan kuasa dan rahmatnya menghadirkan sekian banyak takdir dalam rentang Hidup manusia sebagai hal yang pasti.

Tengoklah sirah Nabi dan kita akan mendapatkan banyak hal yanh memilukan. Laki-laki mulia itu meski menjalani ketentuan pahit saat warga Thaif menzaliminya sampai ia terluka. Darah segar juga mengucur dari wajah sucinya saat beliau terluka di perang Uhud. Tangisnya yang suci tak mampu menghalangi ketentuan Allah mewafatkan orang-orang tercintanya, istri terkasih Khadijah, paman pembelanya Hamzah, dan Abu thalib, bahkan Ayah dan Bundanya sendiri, Abdullah dan Aminah.

Tangis Sahabat, Jibril, dan kepiluan Izrail juga tak mampu menghilangkan kematian cucu terkasih Abdul Muthalib itu, Kita tau Ummar bin Khattab sangat terguncang hingga ia menghunus pedangnya mengancam siapa saja yang mengatakan sang junjungan telah tiada.

Jika sang Nabi, makhluk tertinggi derajatnya di jagad raya, mengalami hal demikian apa lagi kita yang hanya manusia biasa?

Imam Al-Syawkanimenyebut mengimani takdir adalah hal paling besar dalam keimanan. Pemahaman hal yang mendalam tentang hal ini akan membuat keimanan seseorang menjadi tinggi. Hanya mukmin sejati dan hamba salehah yang benar-benar dapat mengimaninya. Mrekalah yang senantiasa ridho dan rela menerima ketentuan Allah yang baik atau buruk.

Keridhoan akan terus bersarang dalam hatinya selama hatinya Konsisten mengimani Takdir. Kerelaan ini tanpak nyata saat mukmin tersebut tak menyalakan apa dan siapapun (Apalagi Sang Khalik) ketika satu atau serentenan bencana menerapnya.

Hatinya tetap lapang dan segala kesulitan tanpak mudah jika hatinya telah diteguhkan pada takdir.

Hamba itu mengetahui segala sesuatu berasal dari Allah, sadar Allah swt adalah penciptanya, menciptakan sesuatu dari ketiadaan Ia juga mengerti Hidupnya Hak penuh khaliknya. Jika seseorang memiliki kebun berhak menanam apapun atau menjual kebun itu, tentu Allah juga berhak menghadirkan apapun atas hidup Hamba-hamba-Nya.

Kemudahan dan kelapangan itu akan berbalik berganti rasa sempit dan susah jika keimanan itu mengendur. Hati akan memberat dan dada akan terhimpit batu besar. Sekalipn memang, mengimani takdir adalah hal yang sangat berat dan genting. Tak selamanya kita bisa rela dan berlapang dada menghadapi kesulitan dan bencana karna kelemahan kemanusiaan kita.

Karenanya barangkali wajar jika Nabi Muhammad saw pernah memanjatkan do’a agar diberi keteguhan hati menghadapi takdir, sebagai modal spiritual yang diwariskan kepada Umat tercintanya.

”ya Allah....Aku berlindung kepada-Mu dari qada Buruk, serta kegembiraan musuh-musuh. Dengan demikian kami berdo’a : Ya Allah... kami berlindung kepada-Mu dari qada yaDalam kehidupan nyata beriman kepada takdir barangkali hal yang berat kita lakukan karna sifatnya yang konkret.

Hati manusia cenderung Goyah jika dihadapak dengan Takdir yang menghadirkan kepedihan.

Allah dengan kuasa dan rahmatnya menghadirkan sekian banyak takdir dalam rentang Hidup manusia sebagai hal yang pasti.

Tengoklah sirah Nabi dan kita akan mendapatkan banyak hal yanh memilukan. Laki-laki mulia itu meski menjalani ketentuan pahit saat warga Thaif menzaliminya sampai ia terluka. Darah segar juga mengucur dari wajah sucinya saat beliau terluka di perang Uhud. Tangisnya yang suci tak mampu menghalangi ketentuan Allah mewafatkan orang-orang tercintanya, istri terkasih Khadijah, paman pembelanya Hamzah, dan Abu thalib, bahkan Ayah dan Bundanya sendiri, Abdullah dan Aminah.

Tangis Sahabat, Jibril, dan kepiluan Izrail juga tak mampu menghilangkan kematian cucu terkasih Abdul Muthalib itu, Kita tau Ummar bin Khattab sangat terguncang hingga ia menghunus pedangnya mengancam siapa saja yang mengatakan sang junjungan telah tiada.

Jika sang Nabi, makhluk tertinggi derajatnya di jagad raya, mengalami hal demikian apa lagi kita yang hanya manusia biasa?

Imam Al-Syawkanimenyebut mengimani takdir adalah hal paling besar dalam keimanan. Pemahaman hal yang mendalam tentang hal ini akan membuat keimanan seseorang menjadi tinggi. Hanya mukmin sejati dan hamba salehah yang benar-benar dapat mengimaninya. Mrekalah yang senantiasa ridho dan rela menerima ketentuan Allah yang baik atau buruk.

Keridhoan akan terus bersarang dalam hatinya selama hatinya Konsisten mengimani Takdir. Kerelaan ini tanpak nyata saat mukmin tersebut tak menyalakan apa dan siapapun (Apalagi Sang Khalik) ketika satu atau serentenan bencana menerapnya.

Hatinya tetap lapang dan segala kesulitan tanpak mudah jika hatinya telah diteguhkan pada takdir.

Hamba itu mengetahui segala sesuatu berasal dari Allah, sadar Allah swt adalah penciptanya, menciptakan sesuatu dari ketiadaan Ia juga mengerti Hidupnya Hak penuh khaliknya. Jika seseorang memiliki kebun berhak menanam apapun atau menjual kebun itu, tentu Allah juga berhak menghadirkan apapun atas hidup Hamba-hamba-Nya.

Kemudahan dan kelapangan itu akan berbalik berganti rasa sempit dan susah jika keimanan itu mengendur. Hati akan memberat dan dada akan terhimpit batu besar. Sekalipn memang, mengimani takdir adalah hal yang sangat berat dan genting. Tak selamanya kita bisa rela dan berlapang dada menghadapi kesulitan dan bencana karna kelemahan kemanusiaan kita.

Karenanya barangkali wajar jika Nabi Muhammad saw pernah memanjatkan do’a agar diberi keteguhan hati menghadapi takdir, sebagai modal spiritual yang diwariskan kepada Umat tercintanya.

”ya Allah....Aku berlindung kepada-Mu dari qada Buruk, serta kegembiraan musuh-musuh. Dengan demikian kami berdo’a : Ya Allah... kami berlindung kepada-Mu dari qada yang buruk"


Sumber : Hidayah Edisi 68

0 komentar:

Posting Komentar